Sabtu, 10 Mei 2014

BAGAIMANA JIKA

Bukankah sering terjadi dalam hidup kita. Janji bertemu telah dibuat sejak lama. ‘Tepat waktu’ menjadi headline-nya. Lantas entah apa alasannya, orang yang berjanji dengan kita justru datang terlambat. Lalu kita mulai menduga-duga, bahwa ia bukan orang yang disiplin, bahwa ia pasti seorang yang tidak berkomitmen, tidak serius, dan seterusnya. Dan kita tidak merasa perlu lagi untuk menanyakan alasan yang sebenarnya. 
Bagaimana jika ternyata, orang itu sepanjang hidupnya tak pernah terlambat, kecuali di hari ia berjanji dengan kita. Ia adalah seorang yang disiplin, berkomitmen tinggi, dan serius. Hanya saja di hari ketika ia berjanji bertemu, Ibunya sakit secara mendadak. Pekerjaan rumah mau tak mau mesti ia selesaikan, adik yang biasa diantar sekolah oleh Ibu, sekali itu dia yang mengantar. Maksudnya hendak meminta maaf atas keterlambatannya, tapi apa mau dikata, pulsa telepon habis, sementara uang hanya cukup untuk ongkos pergi-pulang. Maka terlambatlah ia hari itu.
Bukankah sering terjadi dalam hidup kita. Sekian SMS telah terkirim sejak berjam-jam, bahkan berhari-hari yang lalu. Namun SMS balasan tak kunjung ada. Padahal penting luar biasa balasan tersebut untuk kita. Kita pun mulai menduga-duga, bahwa orang yang kita nantikan balasannya tak cukup peduli pada kita, ia pastilah orang yang berlagak sok sibuk sampai-sampai tak punya waktu membalas SMS kita. Dan kita tidak merasa perlu lagi untuk menanyakan alasan yang sebenarnya. 
Bagaimana jika ternyata, orang yang kita nantikan balasannya itu tengah berada di daerah antah berantah, di mana sinyal telepon seluler tidak bisa diandalkan. Atau bagaimana jika ternyata, ia tengah berada dalam perjalanan berhari-hari, dan ponselnya kehabisan baterai di saat yang tidak tepat. Atau bagaimana jika ternyata, ponselnya hilang dicuri orang. Atau bagaimana jika ternyata, ponselnya rusak sehingga tak bisa menerima pesan.
Bukankah sering terjadi dalam hidup kita. Pemimpin berganti, namun rasa-rasanya hadirnya tak kunjung memberi arti. Perubahan seolah hanya isapan jempol. Janji pun sekadar janji. Lalu berbekal berita-berita di televisi, kita berkeluh kesah dan melempar hujatan pada pemimpin negeri dengan judul menagih janji. Seolah harapan tiada lagi. Dan kita tidak merasa perlu lagi untuk mencari informasi yang akurat tentang kerja-kerjanya.
Bagaimana jika ternyata, pemimpin yang kita hujat adalah ia yang lambungnya jauh dari kasur empuknya. Di saat kita lelap, ialah orang yang paling memikirkan nasib kita. Di saat kita menjadi orang pertama yang percaya pada provokasi negatif, ialah orang pertama yang percaya bahwa harapan itu masih ada. Di saat kita menghujatnya, ialah orang yang paling keras usahanya untuk melayani  dan menyejahterakan kita. Di saat kita berpikir untuk menyerah, ialah orang yang paling optimis bahwa negeri ini bisa berubah dengan doa dan kerja keras.
Bukankah sering terjadi dalam hidup kita. Seorang kawan dekat bercerita tentang keburukan rekan kita. Kita pun dibuat benci pada rekan itu. Tak berhenti di situ. Kita pun ikut-ikutan menyebar kabar tentang keburukan sang rekan itu. Dan kita tidak merasa perlu lagi untuk mencari tahu kebenaran kabar itu. 
Bagaimana jika ternyata, rekan yang kita benci itu adalah seorang yang saleh lagi mulia hatinya. Setiap pagi ia berderma untuk sesama. Tiap siangnya ia bekerja mencari nafkah secara halal. Malam harinya ia bersujud memohon ampun dan bermunajat pada-Nya. Dan di salah satu doanya, ternyata tercantum nama kita. Semoga Allah memuliakan kita, katanya.
Sungguh, betapa banyak kemungkinan yang berpeluang terjadi dari suatu peristiwa yang kita alami sehari-hari. Baik maupun buruk. Kita tahu bahwa kita selalu bisa memilih untuk menduga kemungkinan mana yang paling besar peluangnya. Namun kadang kita lupa, bahwa sesuatu baru dikatakan sebagai kebenaran jika memang telah terbukti melalui cara dan prosedur yang benar pula. Kita pun kadang alpa untuk mendahulukan kemungkinan-kemungkinan yang baik di atas kemungkinan yang buruk.
Dengarlah. Alangkah indah cara Allah mengingatkan kita untuk mendahulukan prasangka baik sebelum prasangka buruk :

"Jauhilah banyak prasangka buruk. Kebanyakan prasangka buruk itu dosa. Jangan kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu menggunjing orang lain" 
(QS 49 : 12)
Alangkah indah pula saran dari Allah agar kita terhindar dari prasangka buruk itu :
Jika orang fasik datang kepadamu membawa berita, periksalah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan orang lain karena kecerobohanmu
(QS 49 : 6)
Betapa pun banyak hal yang membuat kita pantas berprasangka buruk, pasti ada satu prasangka baik. Berpihak pada prasangka baik selalu jauh lebih baik dan berpahala ketimbang berpihak pada prasangka buruk.
Betapa pun banyak orang beropini tentang seseorang atau sesuatu, bukan berarti opini mereka patut kita anggap benar. Opini adalah pemikiran subjektif, dibuat atas dasar pengetahuan, tendensi, kebutuhan, dan kepentingan yang bersangkutan. Sementara kebenaran adalah sesuatu yang objektif, tidak terikat pada penilaian seseorang, tidak pula terkait dengan kepentingan tertentu.
Bukan karena kita pikir sesuatu itu benar maka ia menjadi benar. Bukan karena banyak orang berkata itu benar maka ia menjadi benar. Bukan karena tiada orang berkata itu benar maka kebenarannya menjadi sirna. Tidak semua informasi mengandung kebenaran.
Namun demikian, kebenaran itu ada. Maka carilah kebenaran itu, meski harus melawan opini banyak orang, meski harus bersusah payah menggali ke dasar bumi, meski harus berlelah-lelah mengejar ke ujung dunia. Hauslah pada ilmu. Agar kita tak puas dengan pengetahuan yang terbatas dan tak jelas sumbernya. Rendah hatilah pada kebenaran. Karena hati yang merendah bisa lebih jelas melihat kebenaran. Mintalah agar diberi petunjuk pada kebenaran, karena kebenaran sejatinya adalah milik Dia Yang Maha Benar.

Jangan bosan mencari. Karena tugas kita bukanlah setia pada opini atau prasangka. Tugas kita adalah setia pada kebenaran.

"Ya Tuhanku, tunjukkanlah pada kami kebenaran dan berikan kami jalan untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah pada kami kebatilan dan berikan kami jalan untuk menjauhinya"

TENTANG KESEIMBANGAN

Cinta tidak melulu soal berapa banyak kesamaan yang kita punya. Cinta juga tidak melulu soal berapa banyak perbedaan yang ada di antara kita. Cinta adalah tentang keseimbangan.
Ketika kau terlalu cepat berlari sampai-sampai kau lupa pada dirimu sendiri, aku akan selalu ada untuk menjadi rem buatmu. Ketika kau terlalu lama kedinginan dalam pikiran yang mendung sampai-sampai kau lupa pada hakmu untuk bahagia, aku akan selalu ada untuk menjadi mentari bagimu. Ketika kau kelelahan mengikuti irama kehidupan dalam dunia yang berputar kian cepat ini, aku akan selalu ada untuk menjadi sandaran jiwamu.
Di titik di mana dunia kita berdua berjalan seimbang, di situlah aku merasa hidupku lengkap. Di titik di mana dunia kita berdua berjalan seimbang, di situlah aku merasa jiwaku lapang. Di titik di mana dunia kita berdua berjalan seimbang, di situlah aku merasa sakinah. Sakinah dalam genggaman tanganmu.

MENCERITAKAN CINTA

Kita sering menyaksikan cerita cinta dari banyak orang dengan berbagai bahasa dari masa ke masa. Tak peduli seperti apa permulaan dan akhirnya, melibatkan siapa dengan siapa, tetaplah semua itu adalah cerita tentang cinta. Jumlahnya bermiliar-miliar, dan akan selalu bertambah setiap harinya selama hati manusia masih bisa mengenali cinta.
Dari sekian banyak cerita-cerita itu, ada cerita yang kita tak suka. Ada pula yang kita sukai—dengan berbagai alasan yang beragam tentunya. Dengan alasan suka maupun tidak suka, terkadang kita masuk terlalu jauh dalam cerita-cerita itu. Sehingga kita mulai membanding-bandingkan apa yang ada pada cerita itu dengan hidup kita sendiri.
Kita ingat kembali saat kisah cinta Fahri dalam film Ayat-Ayat Cinta menjadi sangat booming di kalangan pemuda dan pemudi Indonesia. Betapa banyak lelaki yang berharap dirinya dipertemukan dengan perempuan secantik dan seshalihah Aisyah. Tak sedikit pula perempuan yang bermimpi dapat bersanding dengan pria sesempurna Fahri.
Hal yang sama kurang lebih terjadi saat buku Habibie & Ainun karya Pak Habibie difilmkan. Pasangan kekasih mana yang tidak ingin cerita cintanya seindah cerita itu? Atau bagi yang belum berpasangan, siapa yang tak ingin memiliki pasangan dengan kesetiaan sampai mati seperti itu?
Ketika kita suka pada cerita cinta tertentu dan masuk terlalu dalam pada kisah itu, kita cenderung untuk membandingkannya dengan cerita cinta kita sendiri. Kita mulai berandai-andai, jika saja cerita kita seindah cerita itu. Andai saja kita dipertemukan dengan seseorang yang mirip dengan tokoh dalam cerita itu. Harapan-harapan pun bermekaran di sini. Cita-cita pun ditetapkan di sini. Kriteria-kriteria tertentu pun terilhami dari cerita itu.
Kita menjadi sangat menikmati setiap detil ceritanya, sampai  terkadang membiarkan diri kita terbawa arus romantisme yang kita tidak tahu akan bermuara di mana. Istilah galau barangkali muncul dengan frekuensi tinggi di sini. Membuat kita larut dalam pikiran kita sendiri yang telah termanipulasi oleh drama-drama romantis.
Kita lalu terlalu sibuk membanding-bandingkan cerita cinta kita dengan cerita cinta yang kita anggap ideal. Sampai kita menjadi lupa pada karakter utama cinta yang seharusnya membahagiakan. Alih-alih bahagia, kita justru terlampau sempit memaknai cinta karena ketidaksesuaian realita dengan idealisme yang akhirnya membuat kita dirundung nestapa.
Kita terlalu asyik berandai-andai tentang apa yang belum kita miliki. Kita lengah dan berpikir bahwa cinta hanya memiliki satu pintu. Dan karena kita tidak memiliki kunci pintu itu, kita merasa tidak akan pernah bisa meraih cinta.
Padahal cinta adalah ruang dengan berjuta pintu, yang mana setiap kita telah dianugerahi satu kunci untuk membuka salah satu pintu itu. Kita lupa bahwa tidak ada eksklusivisme dalam cinta. Semua boleh berpesta menikmati cinta. Semua boleh jatuh bangun menemukan cinta. Semua boleh tergila-gila karena cinta.
Kita berpikir bahwa cinta adalah semacam rumus pasti. Yang jika tidak ada x, maka tidak ada y. Padahal cinta adalah urusan yang tak lebih pasti dari kematian. Semuanya serba mungkin. Semuanya berpeluang. Karena kita tidak sepenuhnya mengetahui masa depan.
Tidak ada yang salah dengan cerita cinta. Bagaimana pun, cinta adalah inti kehidupan. Bagaimana pun, kehidupan manusia bermula dari cerita cinta dari dua insan mulia, Adam dan Hawa. Bagaimana pun, pembunuhan pertama yang dilakukan manusia pun bermula karena cerita cinta yang rumit  antara Habil, Qabil, dan Iklima. Cerita cinta akan ada selama hati manusia mengenalinya. 
Jumlah cerita cinta bermiliar-miliar banyaknya. Membaca dan menyaksikannya memang tak membuat bosan. Setiap cerita cinta memberi pesan berharga. Namun yang menjadi soal adalah, kadang kita masuk terlalu dalam pada cerita-cerita itu dan kita mulai membanding-bandingkan cerita kita dengan cerita tersebut.
Kebahagiaan tidak bisa hadir pada jiwa mereka yang selalu membanding-bandingkan hidupnya dengan hidup orang lain. Sebaliknya, kebahagiaan hadir tanpa diundang pada jiwa-jiwa yang senantiasa menerima hidup sebagai hadiah dan bersyukur atasnya.
Setiap cerita cinta memiliki tantangan yang berbeda. Jangan pernah bermimpi untuk menjadi orang lain. Biarkan semua orang berkisah tentang cintanya masing-masing.
Nikmati perjalanan cintamu dengan penuh kebahagiaan dan keyakinan. Tuliskan cerita cintamu sendiri, ciptakan kebahagiaanmu sendiri.
Jika ada cerita cinta yang membuatmu terpesona, pastikan cerita cintamu sendiri ada pada halaman pertamanya.
__________________________________
Termasuk ketika membaca cerita-cerita cinta dari teman-teman kita, pastikan jiwa kita tetap berada kukuh di tempatnya. Tidak terbawa arus, tidak menjadi lemah. 
Cinta adalah ruang dengan berjuta pintu. Setiap orang sangat mungkin memasukinya dari pintu yang berbeda-beda. Yang pasti, setiap orang telah dianugerahi kunci yang tepat untuk satu pintu. Karena semua orang berhak memiliki cerita cinta :)

MEMANG DI TAKDIRKAN BEGITU

Setidak-tidaknya dalam satu scene kehidupan, saya pernah berpikir bahwa saya bisa menikah dan menjalani sisa hidup dengan siapa saja. Cinta? Itu kan kewajiban, bisa hadir beriringan. Visi? Ya, asal visinya jelas dan baik, kenapa tidak. Komitmen? Itu kan konsekuensi dari mencintai, ya memang harus dijalani. Tidak masalah, dengan siapapun, asal baik, rasanya saya akan menjalani hidup yang baik pula. Toh, selama ini saya bisa berteman dengan banyak orang dan menjalin hubungan yang menyenangkan bersama mereka.
Tapi kalau begitu, kenapa para lelaki masih saja terus-terusan mencari belahan jiwa—dengan serangkaian proses yang beragam tingkat kerumitannya—padahal jumlah wanita baik-baik tak kurang jumlahnya di bumi manusia ini? Kenapa para wanita pun terus-terusan berharap dipertemukan dengan pangeran impiannya padahal laki-laki baik pun tak kalah banyak jumlahnya? Bukankah itu hal yang mudah : kamu tinggal pilih satu dari yang baik-baik itu untuk melengkapi setengah agamamu, kemudian selesailah urusan.
Ada sejuta lelaki baik-baik, ada sejuta wanita baik-baik, bukankah menjadi mudah untuk menjodohkan mereka? Pasang-pasangkan saja semuanya, toh semuanya baik. Tapi kenapa tidak semudah itu?
Kukira, itu karena perjodohan bukan sepenuhnya urusan manusia. Kita bisa saja mengira si A yang sholeh dan si B yang sholehah akan sangat serasi jika menjadi pasangan. Ternyata, mereka tidak berjodoh. Atau, bisa saja kita menduga si Pangeran yang kaya tidak pantas bersanding dengan Cinderella yang miskin. Tapi justru berjodoh—meski dalam dongeng.
Jodoh benar urusan Allah, sehingga tolok ukur serasi atau tidaknya sepasang kekasih bukanlah berdasarkan pada penilaian manusia, melainkan perhitungan Allah Yang Maha Adil. Dengan rumus yang rahasia, takdir jodoh itu ada. Dengan terencana, sepasang manusia yang berjodoh akan dipertemukan.
Saya pun tak tahu bagaimana Allah menjodoh-jodohkan manusia yang begitu banyak ini, variabel apa saja yang digunakan untuk menjodoh-jodohkan. Tapi saya tahu, bahwa cara-Nya mempertemukan dua insan yang berjodoh selalu indah. Cara yang membuatku berpikir bahwa hidup kita tak bisa dibagi dengan sembarang orang, hanya satu orang yang akan bisa : jodoh kita.
Kemudian muncul pertanyaan, “Bagaimana kita tahu dia jodoh kita atau bukan?”
Belum ada alat yang bisa mendeteksi level jodoh sepasang manusia. Semacam tes psikologi pun kurasa tidak akan pernah bisa bekerja dengan sempurna. Tapi kita tidak perlu khawatir, bukankah Allah sudah memberikan manusia tool bernama hati? Yang bisa—secara aneh dan sulit dijelaskan—bergetar manakala mata tak sengaja beradu pandang dengan seseorang yang teduh perangainya. Yang bisa—secara aneh dan sulit dijelaskan—berbunga-bunga manakala tak sengaja bertemu raga dengan ia yang baik hatinya.
Dengan hati, kita bisa merasakan banyak hal bukan? Menurutku ini merupakan mekanisme alamiah yang Allah berikan pada kita. Untuk itulah mengapa memiliki hati yang bersih menjadi penting, sama pentingnya bagi pengguna kacamata untuk menjaga kacamatanya agar selalu bersih. Kacamata yang bersih memungkinkan mata untuk melihat lebih jelas. Hati yang bersih memungkinkan mata hati untuk melihat lebih jernih. Dampaknya, kita bisa lebih jelas menentukan pilihan. Kacamata yang kotor membuat kita tidak bisa melihat dengan jelas. Akibatnya, kita bisa salah mengira. Orang A bisa kita anggap orang B. Hati yang kotor membuat kita tidak bisa melihat dengan jernih. Akibatnya, kita bisa salah menentukan. Sesuatu yang baik terlihat buruk, sementara sesuatu yang buruk terlihat baik.
Hati juga berfungsi sebagai alat pemancar gelombang. Frekuensi gelombang setiap hati berbeda-beda. Setiap hati yang memiliki kesamaan frekuensi gelombang akan berada pada satu kelompok yang sama. Karenanya, ada ungkapan bahwa jodoh adalah tentang kesamaan frekuensi hati. Ia yang berfrekuensi XXX akan bertemu secara otomatis dengan ia yang berfrekuensi XXX pula. Jika demikian, maka mudah saja jika kita ingin bertemu dengan dia yang berfrekuensi tertentu, samakan saja frekuensi hati kita dengannya.
Selain hati, rupanya ada perangkat lain yang bisa kita manfaatkan agar kita tahu apakah ia jodoh kita atau bukan, ialah doa yang satu paket dengan prasangka baik.
Doa adalah hal penting dalam hal ini. Karena dengan berdoa, artinya kita melibatkan Allah secara langsung untuk memberikan takdir terbaik untuk kita jalani. Doa terbaik adalah doa yang disertai dengan kepasrahan dan prasangka baik kepada Allah. Dengan menyertakan kepasrahan, berarti kita benar-benar siap menerima ketentuan apapun. Dengan menyertakan prasangka baik, berarti kita siap menjalani ketentuan itu dengan perasaan positif terhadap Allah.
Cara lain untuk tahu apakah ia jodoh kita atau bukan, adalah dengan menikahinya (you don’t say). Jika kita sudah berusaha memantaskan diri dan mencari yang terbaik menurut hati bersih kita. Di saat yang sama kita juga berdoa kepada Allah agar diberi yang terbaik. Maka semestinya dengan siapapun kita menikah, kita akan yakin bahwa ia memang jodoh kita. Bahwa ia memang seseorang yang ditakdirkan untuk mendampingi kita di sisa usia kita. Dan bahwa ia adalah satu-satunya orang di antara milyaran manusia single yang diciptakan untuk menjadi teman hidup kita.
Kemudian kita pun akan sampai pada satu kesimpulan. Bahwa kita tidak bisa tidak berjodoh dengannya. Karena apa? Karena kita memang ditakdirkan untuk begitu.

Kamis, 08 Mei 2014

Rasulullah Mengajarkan Cinta (Hadist Tentang Cinta)

Bicara tentang cinta adalah bicara tentang salah satu nikmat kehidupan, yaitu nikmatnya mencintai dan dicintai. Islam sebagai agama yang paling sempurna telah mengatur segalanya tentang percintaan, seperti tercantum dalam beberapa hadist tentang cinta.
Kita tahu bahwa tuntunan hidup kita di dunia ini ada tiga, yaitu Al-Qur’an, hadist, dan ijtihad. Selain di dalam Al-Qur’an, peraturan dan adab cinta dalam Islam telah diajarkan oleh Rasulullah. Berikut adalah beberapa dari sekian banyak hadit tentang cinta yang diberikan Nabi Muhammad SAW.
Rasulullah SAW bersabda: Cintailah kekasihmu sewajarnya karena bisa saja suatu saat nanti ia akan menjadi orang yang kamu benci. Bencilah sewajarnya karena bisa saja suatu saat nanti ia akan menjadi kekasihmu. (HR. Al-Tarmidzi)
Sesungguhnya orang-orang yang saling mencintai, kamar-kamarnya di surga nanti terlihat seperti bintang yang muncul dari timur dan bintang barat yang berpijar. Lalu ada yang bertanya, “Siapa mereka itu?”. Mereka adalah orang-orang yang mencintai karena Allah SWT. (HR. Ahmad)
Perumpamaan orang-orang beriman dalam rasa saling mencintai, saling mengasihi, saling berkasih sayang adalah seperti satu tubuh yang ketika satu anggota tubuh itu ada yang mengeluh, maka seluruh tubuh merasa mengadu dengan terus terjaga tidak bisa tidur dan merasa panas. (HR. Muslim)
Itulah tiga hadist tentang cinta yang sangatlah indah. Berikut hadist tentang cinta lainnya.
Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, kalian tidak akan masuk surga sebelum kalian beriman. Kalian tidak akan beriman sebelum kalian saling mencintai. Tidakkah aku tunjukkan kepada kalian mengenai sesuatu yang ketika kalian melakukannya, maka kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian. (HR. Muslim)
Dari Rasulullah SAW yang bersabda dalam satu doanya, “Ya Allah, berilah aku rezeki cinta-Mu dan cinta orang yang bermanfaat buat ku cintai di sisi-Mu. Ya Allah segala yang Engkau rezekikan untukku di antara yang aku cintai, jadikanlah itu sebagai kekuatan untuk mendapatkan yang Engkau cintai., jadikan itu kebebasan dalam segala hal yang Engkau cintai. “HR. Al-Tardmizi)
Sebenarnya masih banyak lagi hadit tentang cinta yang bisa jadi rujukan kita dalam mengarungi kehidupan mencintai dan dicintai di dunia ini. Hadist tentang cinta ini tidak hanya sebatas cinta kepada lawan jenis, tetapi juga cinta kepada sesama manusia atas dasar Allah SWT. Indahnya cinta dalam Islam.